Pada 29 Juli 2005 , MUI telah menetapkan fatwa, bahwa sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam dan haram bagi umat Islam memeluknya. MUI sendiri mendefinisikan Pluralisme Agama (PA) sebagai “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan disurga.”
Definisi MUI itulah yang kemudian dikritik beberapa pemeluk dan penyebar paham pluralis dan liberalisme. Direktur International Centre for Islam and Pluralism, Syafi'i Awar menilai, fatwa-fatwa MUI itu adalah sebuah kemunduran yang luar biasa. Bahkan dedengkot JIL (Jaringan Islam Liberal) Ulil Absar Abdalla mencela fatwa MUI sebagai kekonyolan dan ketololan.
Tokoh-tokoh pemuja pliuralisme agama diantaranya ialah, Dr. J. Verkuil yang pernah menulis buku berjudul "Samakah Semua Agama?” menceritakan sebuah hikayat Nathan der Weise (Nathan yang bijaksana). Nathan adalah seorang Yahudi yang ditanya oleh Sultan Saladin tentang agama manakah yang terbaik, apakah Islam, Yahudi atau Nasrani. Lalu dijawab Nathan, semua agama itu intinya sama saja. Perlu diketahui, hikayat Nathan itu ditulis oleh Lessing (1729-1781), seorang Kristen yang mempercayai bahwa intisari agama Kristen adalah Tuhan, kebajikan, dan kehidupan kekal. Intisari itu, menurutnya, juga terdapat pada Islam, Yahudi dan agama lainnya.
Dalam Konferensi Parlemen Agama-agama di Chicago tahun 1893, diserukan bahwa tembok pemisah antara berbagai agama di dunia ini sudah runtuh. Konferensi itu akhirnya menyerukan persamaan antara Kong Hu Tsu, Budha, Islam dan agama-agama lain. Mereka juga berkesimpulan bahwa berita yang disampaikan oleh para nabi itu sama saja.
Penganut relativisme dengan polos berpendapat bahwa semua agama sama benarnya (every religion is as true and equally valid as every other). Kebenaran bukan monopoli satu agama tertentu. Tidak boleh pemeluk suatu agama menyalahkan atau menganggap sesat penganut agama lain.
Namun, kaum pluralis tidak sekedar mengakui keberadaan berbagai agama. Lebih dari itu, mereka menganggap semua agama mewakili kebenaran yang sama, meskipun ‘porsinya’ tidak sama. Semuanya menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan, walaupun ‘resepnya’ berbeda-beda. Terdapat banyak jalan menuju Tuhan. Semuanya dapat diterima, tidak ada satupun yang buntu atau menyesatkan. All religions are equally effective means to salvation, liberation, and happiness, menurut paham ini.
Cukup membingungkan apabila kita lihat bagaimana sikap para pengususung pluralisme, karena jika kita lihat agama Kristen sendiri sebagai contoh, pihak Katholik yang enggan di samakan dengan Protestan sungguh telah menjadi celah besar dari paham sesat yang mereka usung.
Frans Magnis Suseno seorang tokoh kristen telah menolak keras Pluralisme Agama. Paham-paham Pluralisme Agama, menurutnya, jelas-jelas ditolak oleh Gereja Katolik. Pada tahun 2001, Vatikan menerbitkan penjelasan "Dominus Jesus". Penjelasan ini, selain menolak paham Pluralisme Agama, juga menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantar keselamatan ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. Di kalangan Katolik sendiri, Dominus Jesus menimbulkan reaksi keras. "Toleransi tidak menuntut agar kita semua menjadi sama. Toleransi.yang sebenarnya adalah menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan agama lain, dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan mereka dalam keberlainan mereka! Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan menghormati penuh identitas masing-masing yang tidak sama," ujar Frans Magnis Suseno.
Orang Katholik tidak mau disamakan dengan orang Kristen Protestan, mereka beribadah di gereja masing-masing. Bahkan orang Katholik menyebut dirinya “Katholik” saja tanpa embel-embel Kristen, berbeda dengan “Kristen Protestan” yang masih menempelkan Kristen sebelum sekte Protestannya. Orang Katholik tidak dibenarkan menikah dengan Kristen Protestan meski sama-sama bertuhankan Yesus. Apalagi dengan agama lain. Di dalam Kristen terdapat ratusan bahkan ribuan sekte yang masing-masing punya gereja sendiri. Jemaat Gereja Bethel tidak beribadah di gereja Nehemia, begitu seterusnya. Bahkan pernikahan pun demikian, sebisa mungkin terjadi di antara jemaat satu gereja.
Toleransi, seperti yang di singgung Magnis di atas masih saja di kaburkan maknanya ke jalan pembenaran semua agama. Di indonesia sendiri pluralisme ini banyak diterima karena secara sepintas menawarkan kedamaian di tengah-tengah kekisruhan umat beragama. ia tampil dengan mengatas namakan toleransi. Dan menganggap orang yang tidak plural maka ia tidak toleransi.
Toleransi antar ummat beragama memang harus dijalankan, karena Allah SWT berfirman bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (Al Baqoroh:256). Tapi itu tak berarti semua agama adalah benar. Yang betul adalah, setiap agama benar menurut keyakinan masing-masing pemeluknya. Dalam surat Al Kafiruun dikatakan “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”
Seorang Muslim yang memahami ajaran agamanya tentu mengetahui bahwa padanya selalu dituntut keseimbangan dan kewajaran dalam ber-aqidah, beribadah dan ber-mu’amalah antar sesama manusia.
Seorang Muslim diperintahkan berjihad, tapi juga diperintahkan menebarkan kedamaian. Saling menghormati dan toleransi kepada pemeluk agama lain diharuskan, namun dakwah kepada mereka juga diwajibkan. Minoritas non-Muslim (ahli dzimmah) yang ‘lurus’ wajib dilindungi, namun mereka yang berkhianat dan memusuhi Islam dan Umat Islam harus diperangi. Demikianlah rule of the game-nya, sehingga peaceful coexistence dapat terwujud.
"…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmut-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…" (Al Maidah 3).
Penida Nur Apriani. Alumni PPMA 2014
0 komentar: