Kerancuan Perspektif Gender



Budaya domestik dan wanita adalah dua ikatan yang sulit dipisahkan karena sudah sejak dahulu wanita memegang peranan besar diranah ini. Pekerjaan rumah tangga adalah hal utama yang hanya dapat sempurna jika ditangani oleh kaum wanita. Karena memang Allah menciptakan kaum wanita dengan porsinya tersendiri dan menciptakan kaum lelaki dengan takaran yang tersendiri pula. Oleh karena itu terkadang tidak semua pekerjaan wanita dapat di kerjakan oleh seorang pria dan begitupun sebaliknya. Karena Allah telah menciptakan dua makhluk ini secara unik untuk saling bahu membahu menciptakan tatanan hidup bagi kelangsungan peradaban dunia. Maka dari itu jelaslah sudah peranan setiap manusia dimuka bumi ini. Islam sebagai kacamata muslim memberikan kebebasan kepada manusia baik laki-laki maupun pria dalam perannya di ruang domestik maupun publik.

Dewasa ini seiring perkembangan zaman menuju arah modernisasi, manusia pun turut memperbaharui dirinya agar tetap fleksibel menghadapi karakteristik masyarakat modren. Meskipun modernisasi tidak sama dengan westrenisasi namun tak dapat dipungkiri modernisasi telah mendorong kaum wanita untuk melakukan perubahan. Mereka pun berusaha membentuk karakter masyarakat modern dalam dirinya. Maka lahirlah sosok-sosok wanita modern. Para wanita modern mengaktualisasikan dirinya dengan berkarier diluar rumah. Mereka ingin mencapai kemandirian secara finansial agar tidak lagi dianggap sebagai makhluk yang lemah karena selalu bergantung kepada kaum pria. Oleh karen itu wanita modern wanita yang berkiprah disektor domestik adalah sosok wanita yang lemah dan tak berdaya.

Pemberdayaan wanita dalam segala bidang gencar dilakukan, banyak kelompok yang muncul kepermukaan membawa gagasan keadlilan yang mereka sebut dengan kesetaraan gender yakni kaum yang fenomenal dengan sebutan feminisme. Tujuan mereka tak lain ialah untuk menunjukan kiprah wanita yang tak hanya terbatas pada ruang domestik saja, mereka menunjukan bahwa wanita punya peran yang signifikan dalam berbagai bidang. Kehadiran sederet nama wanita yang turut memberi konstribusi besar bagi negeri pun tak dapat dielakkan dari kancah dunia. Mereka ikut andil dalam berbagai bidang publik. Dengan keadaan ini kebanyakan wanita tentunya turut membantu meringankan beban rumah tangga yang biasa dipikul sediri oleh suaminya. Tak jarang penghasilan yang lebih tinggi di dominasi oleh para isteri ketimbang suaminya. Bahkan bekerja bagi seorang wanita kini seolah menjadi kewajiban yang benar-benar ia persiapkan dari sebelum menikah. 

Dengan cara ini, mereka ingin mengakui keeksistensianya sebagai makhluk yang sejajar dengan kaum pria. Dengan bekerja, mereka ingin membuktikan bahwa wanita adalah sosok yang mandiri dan bisa produktif.

Paradigma itulah yang kemudian dijadikan standar dalam menilai prestasi wanita modren. Mereka yang berprestasi bukanlah mereka yang memiliki banyak keturunan. Bukan pula sosok wanita yang dengan sepenuh hati mendampingi dan mengarahkan tumbuh kembang buah hatinya. Bukanlah mereka yang dengan ikhlas menunaikan tanggung jawab sebagai isteri sekaligus ibu rumah tangga. Melainkan sosok-sosok wanita yang mampu mengais lembar-lembar rupiah dengan keringatnya sendiri.

Wanita yang hanya berkutat disektor domestik dipandang oleh mereka dengan stigma negatif. Ia di anggap sosok yang tidak produktif, terpenjara dan terisolasi karena pekerjaannya hanya berkutat di dalam rumah saja. Bahkan mereka acap kali di sejajarkan dengan pembantu yang kemudian mendorong posisi ibu rumah tangga tak lagi diminati. Bahkan dinilai bukan lagi sebuah profesi kerena tidak mampu menghasilkan materi.

Gerakan kaum feminis pada abad ke-20 terinspirasi dari buku berjudul The Feminine Mystiquue (1963) karya Betty Freidan. Dalam bukunya Freidan mengungkapkan bahwa peran wanita disektor domestik yakni sebagai ibu rumah tangga telah menjadikan penyebab utama tidak berkembangnya kepribadian wanita. Pemikiran ini akhirnya memunculkan prespektif negative terhadap institusi pernikahan. Sebab, konsekuensi pernikahan adalah memiliki anak dan kehadiran anak di anggap sebagai beban.

Olehkarena itu para aktivis feminis merayu kaum wanita agar membebaskan dirinya dari kewajiban rumah tangga. Akibatnya, munculah gerakan propokatif yang menyebarkan kebencian kepada kaum pria. Kaum pria dianggap telah melakukan penindasan terhadap kaum wanita dan mereka adalah sosok yang takut disaingi oleh kaum wanita. Gerakan ini kemudian merambah ke seluruh negara-negara barat dan seluruh penjuru dunia.

Perjuangan kesetaraan gender ini juga merambah hingga ke indonesia dengan sebutan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). Bahkan isu ini telah dibuatkan rancangan undang-undangnya pada awal 2012. Dan ternyata kemunculan RUU KKG ini merujuk pada Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW). Millenium Developments Goals (MDGs), dan Beijing Platfrom for Action (BPFA).

Alhasil, RUU tersebut sejalan denga perjuangan kaum Feminis. Yakni menyeru kepada kaum wanita untuk membebaskan dirinya dari tanggungjawab disektor domestik dan selanjutnya berbondong-bondong memenuhi sektor publik sebagaiman kaum pria. Itulah hakikat kesetaraan dan keadilan gender yang di perjuangkan kaum feminis selama ini.

Sudah sejak berabad silam Islam datang untuk memuliakan wanita. Dengan gamblangnya al-Qur’an menjelaskan bahwa kedudukan antara pria dan wanita dalam pandangan Allah itu sama. Hanya ketaqwaan lah yang menjadi tolak ukurnya. Islam tak melarang wanita untuk bebas bergerak mengembangkan potensi dirinya. Bahkan pada zaman Rasulullah SAW di kisahkan ada sekelompok wanita yang ingin sekali mengadakan kajian rutin setiap pekan untuk membahas persoalan fikih seputar wanita. Dan rasulullah pun menyanggupi dan kajian rutin itu Rasul serahkan kepada istrinya yang terkenal kepandaiannya yakni sayyidatina Aisyah RA. Dan terbukti sayyidatina Aisyah berada sejajar dalam hal keilmuan dengan para periwayat hadits Rasulullah. Pada masa Rasulullah melangsungkan perang dan kehadiran kaum wanita pun tak dapat dipandang sebelah mata. Para kaum wanita saat itu turut andil dalam masalah pengobatan tentara yang terluka. Salah satu yang terkenal ialah Rufaida an-Nadhiroh seorang perawat yang ahli di bidangnya. Dan banyak lagi peranan wanita dalam khazanah Islam yang tak terhitung jumlahnya. Yang mengagumkan dari sosok teladan tersebut mereka tetap pada kodratnya sebagai perempuan. Tak mengabaikan tugasnya sebagai seorang isteri dan ibu bagi anak-anaknya. Justru lahir dari rahim-rahim mereka anak-anak yang cerdas lagi tangguh. Mereka tak menganbil alih posisi suami sebagai kepala rumah tangga kendati kedudukan dan kecerdasan mereka melebihi suaminya. Inilah yang tak terpahami oleh budaya di luar kacamata islam.

Sebenarnya perbincangan seputar wanita tidak terjadi saat ini saja, melaikan telah berlangsung sejak 18 abad lalu. Di Indonsia gerakan emansipasi yang dipelopori oleh R.A Kartini, berhasil mengembalikan hak asasi wanita dalam bidang pendidikan. Emansipasi yang di perjuangkan kartini bukanlah kesetaraan di dalam berbagai hal antar kaum wanita dengan kaum pria. Melainkan justru mengembalikan hak-hak wanita itu sendiri yang telah terpasung oleh belenggu adat dan kungkungan tradisi. Menurut kartini, pendidikan sangat penting bagi kaum wanita kerena merekalah yang menanamkan budi pekerti anak. Bahkan dengan jelas ia menegakan bahwa wanita memiliki peran utama sebagai isteri sekaligus pendidik pertama bagi para generasi baru. Disinilah kaum wanita seyogyanya bercermin. Bukan berkiblat pada asumsi yang keluar dari norma ajaran Islam. 
Wallahu ‘alam

Penida Nur Apriani. Alumni 2014

0 komentar: